MENJADI IBU ADALAH PEMBELAJARAN TANPA HENTI



Peran ibu dalam kehidupan seorang anak tentulah sangat besar dan bisa dikatakan juga sebagai peran yang utama dan paling penting dalam pertumbuhan fisik dan jiwa seorang anak, di rahim ibu lah sang juara itu dikandung selama sembilan bulan, kenapa dikatakan sang juara, karena sel kecil itu telah mengalahkan jutaan pesaing yang berlomba-lomba menerobos janin ibunya, kemudian dilahirkan, disusui, dirawat serta dididik, begitu besar peran ini sehingga lembaga pendidikan memakai istilah “almamater” (ibu asuh atau ibu yang memberikan ilmu) yang berasal dari kata scola materna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu).

Setiap jiwa yang dilahirkan seorang ibu ke dunia adalah pemimpin, setiap jiwa ini dilahirkan dengan tipe kecerdasan yang berbeda-beda, zaman dulu saat kita masih kecil, mungkin masih lumrah orang dikategorikan pintar dan bodoh dengan melihat prestasi akademik dengan simbol rengking, walaupun sekarang masih banyak juga orang tua yang menjadikan rengking sebagai tolak ukur kecerdasan anak. Betapa beruntungnya kita karena dewasa ini telah banyak sekali penemuan yang memudahkan kehidupan kita dengan telah ditemukannya alat-alat elektronik yang bisa membantu kegiatan kita sehari-hari, dalam dunia pendidikan dan pengasuhan telah ditemukan  teori multiple intelegencies, hal ini tentu saja  menjadi titik cerah bagi kebahagiaan anak-anak dan orang tua yang mempunyai tipe kecerdasan seperti saya, yang tak melejit secara akademis. Tentunya sudah tak lazim lagi memandang bahwa ada anak bodoh dan anak pintar, karena setiap anak dilahirkan sebagai mahakarya Tuhann-Nya.

Pada ranah kepribadian, para ahli membaginya menjadi tak lebih dari empat tipe dasar kepribadian, yaitu sanguin, korelis, melankolis dan plegmatis. Sanguin dijuluki si populer, karena pandai, persuasif dan ingin terkenal. Korelis, dijuluki si kuat, karena sering dominan dan kompetitif. Melankolis, dijuluki si sempurna, karena ferfeksionis dan serba teratur. Plegmatis, dijuluki si cinta damai, karena kesetiannya dan menghindari konflik.

Saya adalah ibu dari tiga orang anak, tentu saja menjadi ibu adalah sesuatu yang luar biasa, walaupun ketiga anak saya lahir dari orang tua yang sama, namun mereka mempunyai kepribadian yang berbeda-beda, anak pertama misalnya, kehadirannya di dunia ini menghebohkan, bagaimana tidak, di rumah sakit tempatnya lahir ia adalah bayi dengan suara tangis paling nyaring dan melengking, begitu pun saat di bawa pulang ke rumah, kalau minta mimi susu anak ini menangis sejadi-jadinya sampai tetanggga berdatangan, heboh kan, belum lagi aksinya saat dia sudah mulai berbicara dan berjalan. Pada satu sisi saya sangat bangga akan kemandirin serta kedewasaannya di usianya yang masih kecil, namun saya juga harus terus belajar untuk menaklukkan kepribadiannya, emosinya meledak-ledak pada kondisi-kondisi tertentu dan hal ini sudah terlihat dari saat dia masih  bayi dengan tangisannya yang melengking-lengking itu. 

Berbagai hal saya lakukan, mulai dari diet susu sampai belajar ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pengasuhan dan hal ini tentunya sangat bermanfaat bagi saya, belakangan hari saya ketahui bahwa anak ini mempunyai tipe kepribadian korelis yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang tinggi, lebih suka mengatur dari pada diatur. Jadi sampai saat ini saya masih belajar bagaimana caranya menjadi ibu yang baik untuk anak-anak saya, belajar bisa dari mana saja, bisa lewat pengalaman orang, mendengarkan saran ahli, membaca, bahkan bisa belajar lewat kepolosan dan keriangan mereka. Tentu amanah ini harus dijaga betul-betul, amanah Tuhan ini adalah para pemimpin masa depan bumi dan alam semesta, jangan sampai ketidaksabaran kita membunuh karakter dan mematikan potensinya, karena itulah tujuan mahakarya Tuhan di muka bumi ini, para pemimpin dengan keunikkan potensi masing-masing.

So... menjadi ibu bukan berarti berhenti belajar, jika kita menginginkan anak-anak yang sukses yang dapat menjadi pemimpin yang amanah bagi dirinya, keluarganya serta seluas-luasnya umat, tak ada kata terlambat, mari terus belajar dan bersemangat, read a book, ask the expert, and follow parenting training, belajar bisa dari mana saja kan.
| Tidak ada komentar

SEJARAH SEKOLAH


Mendengar kata “sekolah”, pada umumnya seseorang akan membayangkan suatu tempat di mana orang-orang akan melewatkan sebagian dari masa hidupnya untuk belajar atau mengaji sesuatu.
Kata itu umumnya memang diacukan pada suatu system, suatu lembaga, suatu organisasi besar dengan segenap kelengkapan perangkatnya: sejumlah orang yang belajar dan atau mengajar, gedung tempat belajar, secakupan peralatan, serangkaian kegiatan terjadwal, selingkupan aturan, dan sebagainya, dan seterusnya, dan lain-lain.

Padahal dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, scolae atau schola (latin), kata itu secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”. Alkisah orang yunani tempo dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan kata atau istilah skhole, scola, scolae atau schola. Keempatnya punya arti sama: “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar”.
Lama-kelamaan, kebiasaan mengisi waktu luang mempelajari sesuatu itu, akhirnya tidak lagi semata-mata jadi kebiasaan kaum lelaki dewasa atau sang Ayah dalam susunan keluarga pati masyarakat Yunani Kuno. Kebiasaan itu juga kemudan diberlakukan bagi putra-puri mereka, terutama anak laki-laki, yang diharapkan nantinya dapat menjadi pengganti sang Ayah. Karena desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan kian menyita waktu, sang Ayah dan sang Ibu merasa bahwa mereka pun tak lagi punya waktu untuk mengajarkan banyak hal kepada putra-putrinya. Karena itu mereka kemudian mengisi waktu anak-anak mereka dengan cara menyerahkannya kepada seseorang yang dianggap tahu atau pandai di suatu tempat tertentu, biasanya adalah orang dan tempat di mana mereka dulu pernah ber-skhole. Di tempat itulah anak-anak bisa bermain, berlatih melakukan sesuatu, belajar apa saja yang mereka anggap patut untuk dipelajari, sampai tiba saatnya kelak mereka harus pulang kembali ke rumah untuk menjalankan kehidupan orang dewasa sebagaimana lazimnya.
Maka sejak saat itulah, telah beralih sebagian dari fungsi scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu). Itulah sebab mengapa lembaga pengasuhan ini kemudian biasa juga disebut “ibu asuh” atau “ibu yang memberikan ilmu” (alma mater).
Waktu terus berlalu, para orang tua makin terbiasa mempercayakan pengasuhan putra-putri mereka kepada orang-orang atau lembaga-lembaga pengasuh pengganti mereka di luar rumah, dalam jangka waktu yang semakin lama dan semakin teratur pula. Karena semakin banyak anak yang harus di asuh, maka mulai pula diperlukan lebih banyak pengasuh yang bersedia meluangkan waktunya secara khusus untuk mengasuh anak-anak di suatu tempat tertentu yang telah disediakan, dengan peraturan yang lebih tertib, dan dengan imbalan jasa berupa upah dari para orang tua anak-anak itu.
Adalah seorang Johannes Amos Comenius, Uskup Agung Moravia, melalui mahakaryanya yang kemudian dianggap ilmunya pendidikan (tepatnya : teori pengajaran), yakni kitab didactica magna, melontarkan gagasan pelembagaan pola dan proses pengasuhan anak-anak itu secara sistematis dan metodis, terutama karena kenyataan memang adanya keragaman latar belakang dan proses perkembangan anak-anak asuhan tersebut yang memerlukan penanganan khusus.
Melanjutkan tradisi Comenius, adalah seorang berkebangsaan Swiss, Johann Heinrich Pestolozzi, pada abad ke 18, tampil dengan gagasan yang lebih terinci. Orang ini melangkah lebih jauh dengan mengatur pengelompokkan anak-anak asuhannya secara berjenjang, termasuk perjenjangan urutan kegiatan (kemudian disebut mata pelajaran) yang harus mereka lalui secara bertahap. Termasuk pengaturan mengenai  tata cara mereka harus melalui pelajaran tersebut pada setiap tahapan menurut batasan-batasan khas dan terbaku. Upaya ini kemudian dikenal dengan nama “Sistem klasikal Pestalozzi” ini akhirnya menjadi cikal bakal pola pelajaran sekolah-sekolah modern yang kita kenal sekarang dengann perjenjangan kelas dan tingkatannya.
Sebegitu jauh, skhole-nya masyarakat Yunani Kuno pun menjadi suatu tradisi mendunia dengan berbagai keragaman bentuk pengembangan dan penyesuaiannya di berbagai tempat. Orang-orang Yunani Kuno pun bukanlah bangsa pertama dan satu-satunya yang memulai tradisi sekolah. Konon bahkan sebelumnya Socrates dan muridnya, Plato menyelenggarakan academia atau lyceum di Athena, bangsa Cina purba kabarnya juga sudah memulainya pada 2000 tahun sebelum jesus lahir. Dan konon itulah lembaga sekolah tertua di dunia yang pernah diketahui sampai saat ini. Kaum Brahmin India juga sudah menbangun sekolah-sekolah veda mereka setengah abad sesudahnya. Sejarahpun mencatat bahwa hampir semua bangsa di dunia ini sesungguhnya memiliki tradisi pola pengasuhan anak dan lembaga persekolahannya sendiri-sendiri, tentu saja dengan ragam bentuk, sifat dan sebutan yang berbeda-beda.
Begitu juga dengan nenek moyang kita di Nusantara memiliki tradisi serupa yang diwarisi dari tradisi anak benua India dan kemudian juga dari tradisi Jazirah Arab. Tetapi untuk menjelaskan pengertian sekolah seperti yang kita kenal dan pahami dalam bentuknya yang umum saat ini, maka akar keberadaan dan alur kesejarahannya yang berpangkal pada zaman dan tradisi Yunani Kuno itulah yang mesti ditelusuri, yang kemudian kita warisi melalui tradisi sekolah-sekolah colonial, berkat kebijaksanaan “politik balas-budi” kaum sosialis-humanis, Belanda dan Inggris kala itu.
Kata sekolah yang semula hanya berarti pengisian waktu luang, kini bermakna dan mewujudkan diri sebagai suatu system kelembagaan pendidikan yang kadangkala dan celakanya sekaligus diartikan sebagai wujud hakikat pendidikan itu sendiri. Kata itu mestinya memang dipahami dalam konteks kesejarahannya sebagai bagian dari keseluruhan perkembangan umat manusia di mana lembaga itu mewujudkan diri.
Kesadaran kesejarahan kontekstual inilah yang teramat penting untuk memahami hakikat dinamika semua lembaga kemasyarakatan kita, termasuk lembaga sekolah: bagaimana sebenarnya ia mewujud pada saat ini, sebagai hasil dari suatu perjalanan panjang di masa lalu, dan ke arah mana mestinya ia ditujukan untuk menghadapi masa depan yang sangat boleh jadi akan berbeda sama sekali.
Deklarasi Cuarnavaca 1971 : “… apakah kita sedang bergerak kea rah pendidikan yang diperluas dan menyusun rencana dengan gagasan bahwa perkembangan individu adalah suatu praxis, ataukah kita justru sedang menuju ke arah scolae dalam arti kata yang sebenarnya?”

Roem Topatimasang; Sekolah itu Candu hal: 5-12.
| Tidak ada komentar

Arti Angry Bird bagi Pancar


Perkenalkan, Pancar adalah anak kami yang kedua, saat ini dia berusia 4 tahun, saat menginjak usia dua tahun dia sangat menyukai sebuah gambar mobil yang kemudian hari dikenal olehnya dengan sebutan Mc-Quin, awalnya kami membelikan dia tiga buah puzzle dengan tema mobil di sebuah toko buku yang berada di kawasan Mall Bintaro.
Dalam kemasan puzzle tersebut terdapat tiga buah gambar puzzle, yang pertama berwarna merah (Mc-quin), yang kedua berwaran ungu, yang ketiga berwarna coklat (mater). Saat itu Pancar berusia satu tahun, dia baru belajar bicara, baru menyebut kata Buna untuk Bunda, dia pun belum pandai berjalan, masih keenakkan digendong, saat dibelikan puzzle pun dia belum mengerti, baru kemudian saat dia berusia dua tahun, kami membelikannya puzzle dengan ukuran yang lebih besar, dengan tema yang sama, yaitu cars, dia begitu menyukainya, bermain puzzle adalah aktivitas harian yang amat dia sukai, dia bisa memasangnya dari berbagai sisi, mau mengawali dari pojok atau dari tengah tidak masalah buat dia, dia sudah hafal di mana seharusnya setiap kepingan puzzle itu berada.
Di Televisi nasional kemudian dia melihat tayangan Mc-quin, walaupun tidak seantusias yang ku bayangkan, mungkin karena durasinya terlalu lama. Akan tetapi demam mc-quin mempengaruhi keinginannya terhadap hal lain, saat hendak dibelikan baju, kalau bisa dia ingin mencari yang bergambar mc-quin, sepeda juga, pernah dia meminta dibelikan sepeda seperti punya temannya. Saat kulihat sepeda temannya, aku tidak melihat ada yang menarik, hanya sebuah sepeda yang sudah usang yang oleh temannya ditempelkan stiker Mc-quin berukuran kecil sekali.
Kegemarannya terhadap Mc-Quin perlahan memudar, seiring dia mulai mengenal Angry bird, dia sangat menyukai bermain game, “Bunda, aku udah ngga suka Mc-Quin lagi, sekarang aku sukanya Angry bird”, katanya pada suatu hari.
Dia sangat menikmati permainannya, “kalau yang ini dipencet dia bisa bunyi “pekok”” ujarnya sambil menunjukkan salah satu jenis angry bird.
Angry bird yang paling dia suka adalah angry bird yang berwarna hijau, bentuknya tidak seperti yang berwarna merah, yang berwarna hijau lebih kecil dan memiliki paruh yang ukurannya lebih besar dari badannya.
Bunda : “yang ini angry bird apa kak? Tanyaku sambil menunjuk ke angry bird yang hijau itu
Pancar: “ini namanya, angry bird sibalik”
Bunda: “Angry bird sibalik? Kenapa namanya angry bird sibalik?”
Pancar: “iya karena dia kalau dilempar bisa balik lagi, kaya boomerang”
Bunda: “kaya boomerang?”
Pancar: “iya… kaya boomerang”
Pancar: “boomerang kan kalau di lempar bisa balik lagi”
Bunda: “kakak tahu dari mana kalau boomerang dilempar bisa balik lagi?”
Pancar: “tahu dari Jack”
Bunda: “Jack and neverland pirate?”
Pancar: “iya”
Pancar juga menceritakan hasil analisanya terhadap permainan tersebut, menurutnya angry bird itu dilempar-lempar pakai ketapel karena mau menyelamatkan telur-telur angry bird yang diculik oleh para babi.
Pernah suatu kali saat semua orang di rumah sudah meminta dia untuk mandi, dia malah asyik sendiri memutar-mutar pedal sepeda dengan tangannya, saya pun yang sudah sedari tadi minta dia untuk bergegas mandi kemudian bertanya “percobaan apa yang sedang kakak pancar lakukan?”
Pancar: “aku sedang melakukan percobaan angry bird jatuh”
Bunda: “angry bird jatuh!, kayak gimana tuh
Pancar: “iya, aku simpen angry bird di atas ban belakangnya, ternyata kalau pedalnya di putar, angry birdnya bisa jatuh, jadi percobaannya gagal bunda”
Bunda: “oo… gitu”
Begitulah anak-anak menemukan makna dari kegiatan sehari-hari mereka, baik yang terjadwal maupun yang tidak. Walaupun kenyataannya memang belum terjadwal dengan baik, kesibukan Bunda yang masih bekerja di luar rumah menjadi alasannya, dan tidak menutup kemungkinan saat Bunda sudah tidak bekerja lagi pun kegiatan mereka akan mengalir begitu saja, kami hanya membantu menyalurkan proses keingintahuan mereka yang secara alami sudah ada, yaitu curiossity yang Allah berikan kepada semua anak yang dilahirkan ke bumi ini.

| 2 komentar

Mencari Sekolah...

Tiga hari belakangan ini aku sibuk pergi, mengendarai motor scoopy, berkeliling mencari sekolah yang sekiranya tepat untuk Kaori, anak pertama kami yang kini usianya sudah enam tahun. Sebetulnya Kaori ingin masuk sekolah alam, aku bahkan telah mendaftarkannya sit in.

Hari pertama sit in aku membonceng Kaori di belakang, merupakan perjalanan perdanaku dengan jarak tempuk yang lumayan jauh bersama seorang penumpang dibelakangku, dan itu adalah Kaori, anakku. Biasanya aku hanya membawanya di dekat-dekat rumah saja, pergi ke pasar pagi atau ke swalayan terdekat.

Kaori sangat bersemangat, seharusnya dia sudah sit in dari kemarin, ia bangun pagi-pagi dengan semangat, memakai baju muslim berwarna merah muda dan tampil dengan sangat manis. Aku pun sudah siap mengantarnya, memakai jaket gunungku yang kuandalkan untuk mengendarai motor, aku juga meminta Kaori untuk melakukan hal yang sama denganku, yaitu memakai jaket dan helmnya, namun Mba Rahma tak kunjung datang, sudah jam tujuh lewat, aku terpaksa menelponnya, Mba Rahma menjawab dengan tidak bersemangat.
"Mba, aku udah mau berangkat nih!"
tak ada jawaban di sana
"udah sampai mana?"
masih tak ada jawaban
"Rahma masih di rumah, Rahma ngga masuk"
"masih di rumah?"
"iya Rahma sakit"

Aku mengucapkan salam dan menutup telpon, menghubungi berbagai pihak terkait dengan ketidakhadiranku. Aku pun tak tega melihat Kaori, akhirnya Kaori memutuskan untuk pergi sekolah seperti biasa ke sekolahnya yang lama.

Alhamdulillah esok harinya mba Rahma datang, Kaori bisa sit in walaupun tidak sesemangat kemarin, Alhamdulillah perjalanan lancar, dia tampak senang walaupun tidak sesemangat hari kemarin. Aku mengantarkannya ke kelas Bu Nafta, melepasnya dengan agak khawatir, tentang apakah dia akan melewati sit in nya dengan menyenangkan atau tidak.

Saat pulang dia tampak senang, di atas motor dalam perjalanan pulang dia berkata "Bunda... Teteh seneng kalau sekolah di sekolah alam, tapi Teteh ngga tahu rencana Bunda apa"

"iya teh, tapi jauh ya..."
Sehelai kain batik panjang telah kupakai untuk mengikat pinggang Kaori dengan pinggangku, aku khawatir kalau saja ia tertidur di motor, paling tidak ada alat yang mengikatnya.

Harapan untuk sekolah di sekolah alam kian kandas, selain jarak tempuh kami juga belum punya solusi untuk pengasuh Pelangi dan Pancar.

Mba Rahma juga berniat pulang kampung, menjenguk anaknya yang sedang sakit, sepertinya dia masih berniat kembali lagi karena dia tidak meminta keseluruhan uang gajinya, Mba Rahma hanya meminta uang untuk ongkos saja.

Ritme kehidupan kami kembali berubah, aku terpaksa bolos kerja, tidak ada siapa-siapa yang bisa kuandalkan untuk menjaga anak-anak.

Akhirnya aku pun memakai kesempatan ini untuk  mencari sekolah yang sekiranya secara konsep lebih mendekati konsep sekolah alam, yang pada prinsipnya tidak memberatkan secara akademis untuk anak-anak.

SD pertama dengan bangunan megah, deretan piala berjejer di pintu masuk dan ruang tunggu, Pak Satpam mengantar dan mempersilahkan aku duduk di ruang tunggu, tak lama setelah itu seorang pria berdasi mempersilahkanku masuk, di pintu masuk aku membaca "ruang principle".

"keren juga, langsung disambut principle"

Sebagaimana sekolah pada umumnya, sekolah ini adalah sekolah yang mengandalkan kemampuan akademis sebagai keunggulan dengan pengantar bahasa inggris untuk empat mata pelajaran, menyimak penuturannya membuatku berpikir "sanggup ngga anakku di sini, karena dia adalah anak dengan jenis kecerdasan kinestetik"

SD kedua yang kudatangi adalah sebuah MI yang mirip seperti zamanku bersekolah, dari segi bangunan sampai penjaja makanan di area sekitar sekolah, cukup ekonomis namun juga mempunyai bobot akademis yang cukup tinggi, kuota pun tinggal satu. Beberapa tetangga pernah kutanya tentang sekolah ini, "bagus bu, di situ padet banget"

Ukuran bagus bagi seseorang amatlah variatif, bagus menurut sebagian orang belum tentu bagus untuk sebagian yang lain. Sekolah yang bagus menurut kami ya sekolah yang tidak membebani anak didiknya dengan hal-hal yang sifatnya akademis.

Aku pun melanjutkan perjalanan, agak jauh Alhamdulillah Pelangi masih bersemangat menemani Bunda dalam gendongan kangurunya.

SD ketiga pun sama, masih dengan keunggulan akademis yang susah kami cerna.

Pelangi sudah rewel di jalan, aku memutuskan untuk segera pulang, aku pun melanjutkan searching  di alam maya, Alhamdulillah ternyata ada sekolah yang menawarkan building active learning approach. Aku pun menelpon nomor yang tertera di website, hasil pembicaraan cukup memuaskan, dari sana aku mendapatkan informasi bahwa sekolah ini adalah sekolah yang ramah siswa, active learning yang memungkinkan siswa untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan belajar dan bukan hanya mendengarkan ceramah dari gurunya.

Esok hari, aku menyambangi sekolah ini, memastikan tempat serta memastikan bahwa konsep dan aplikasi serta pemahaman guru-guru mengenai konsep sekolah yang active learning approach serta strong character building ini memang benar-benar sama.

Ternyata yang kudapati tidak seperti itu, guru di sana malah kelihatan kewalahan saat ditanya tentang konsep active learning yang diterapkan.

Aku langsung mencoret sekolah ini dari list, aku mengajak Kaori untuk ikut juga berkeliling dan dia pun kelihatan antusias dengan salah satu sekolah dengan fasilitas yang lumayan komplit, Kaori kepincut dengan suasananya yang kelihatannya nyaman untuk bermain, dia juga suka dengan hadirnya sebuah masjid di sana, "ada masjidnya, kalau teteh mau sholat tinggal ke masjid".

Kami pun pulang, bahagia rasanya ada sekolah yang berkenan dihatinya dengan jarak yang sesuai jangkauan. Kaori pun kembali bermain dengan teman-temannya sambil bercerita bahwa dia nanti akan bersekolah di tempat yang ia datangi.

Malam harinya, selepas sholat berjamaah, Kaori menghafalkan surat-surat pendek serta membaca iqro, dia tampak agak kesulitan dengan metode iqro.

"Teh, kalau mau sekolah di sekolah A, teteh harus sudah lancar iqro dan hafalan suratnya"

Kaori tampak cemas, yang disusul dengan sakit perut, satu jam kemudian dia malah muntah.

Kaori memilih untuk tidur, "teteh mau makan?"
"ngga"
"teteh pusing ya karena baca iqro?"
"iya, mungkin karena teteh terlalu keras berfikir jadi sakit perut"
"gimana teh? teteh masih mau sekolah di sekolah A?"
"Ngga jadi"
"kalau di tempat B gimana?"
"teteh lagi ngga mau ngomongin itu dulu"
"ooo... ya udah"
"Bunda...! Qorin sama Syifa masih sekolah di sekolah alam ngga?"
"masih"
"teteh mau sekolah di sekolah alam?"
"mau, tapi kata Bunda terlalu jauh"

Kaori kelihatan gelisah, ia sangat berusaha agar dia bisa tertidur secepatnya, namun hanya kegelisahan yang merayapinya yang juga membuatnya sukar untuk terlelap.

Aku sedih membayangkan luka hatinya, merasakan kesedihannya akibat bingung mencari sekolah.

"Bunda...! teteh sebenarnya bingung dari sejak pertama nyari sekolah"
"Maafkan Bunda ya teh... jika kekhawatiran Bunda membuatmu khawatir juga"

Sebetulnya keinginan kami adalah mencari sekolah yang membuatmu merasa nyaman untuk bermain, bukan sekolah yang memaksamu untuk duduk diam dan mendengarkan ceramah dari gurunya selama berjam-jam.







| 1 komentar